Imparo.net

Paradoks Dunia Kerja di Indonesia: Lowongan Melimpah, Tapi Pengangguran Tetap Tinggi

Pengangguran di Indonesia bukanlah isu baru, tetapi masalah ini semakin kompleks dari waktu ke waktu. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2024 mencapai 4,12 persen, dengan jumlah angkatan kerja mencapai 5,04 juta orang.

Pertumbuhan pengangguran sebesar 40,90 ribu orang dibandingkan tahun sebelumnya menunjukkan bahwa meskipun angka penduduk terus meningkat, penyerapan tenaga kerja belum membaik. Dampaknya jelas: sektor ekonomi tertekan, sementara kemiskinan dan ketidaksetaraan semakin mengancam stabilitas sosial.

Namun, di balik angka-angka ini, timbul pertanyaan mendasar yang sering terabaikan: Apakah masalah pengangguran sepenuhnya disebabkan oleh rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)? Ataukah ada aspek lain yang tidak terlihat dan belum kita pahami dengan baik?

Apakah kualitas SDM Indonesia memang rendah?

Salah satu pertanyaan klasik yang selalu muncul adalah, “Apakah SDM kita tidak cukup berkualitas?” Ini sering menjadi alasan yang dijadikan kambing hitam dalam diskusi mengenai pengangguran.

Namun, ketika ditelusuri lebih jauh, benarkah masalahnya terletak pada kompetensi SDM? Atau mungkin justru banyak individu yang tidak sepenuhnya memahami apa yang mereka inginkan dari karier mereka?

Sejak kecil, kita diajarkan untuk memiliki cita-cita, tetapi seiring bertambahnya usia, realitas mendorong banyak orang untuk memilih jalur karier yang lebih pragmatis, sering kali jauh dari impian masa kecil mereka. Lebih aneh lagi, banyak yang akhirnya berpindah karier karena pekerjaan impian mereka dibatasi pada profesi standar seperti guru, dokter, atau polisi.

Ini menimbulkan pertanyaan besar tentang apakah benar masalah kompetensi SDM adalah akar dari pengangguran.

Pertanyaan kedua yang sering mengemuka adalah, “Apakah sistem pendidikan kita menyiapkan individu untuk dunia kerja?” Jawabannya mungkin mengecewakan.

Kurikulum sekolah yang digunakan saat ini masih banyak yang tidak relevan dengan kebutuhan industri modern. Di era digital ini, masih banyak lulusan yang tidak memiliki keterampilan dasar menggunakan perangkat lunak. Tidak mengherankan jika banyak yang kesulitan menemukan pekerjaan.

Selain itu, tidak semua orang mampu melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi, sebagaimana data BPS menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan, semakin rendah partisipasi masyarakat. Meskipun kini tersedia berbagai platform pembelajaran online, akses terhadap sumber daya ini masih belum merata di seluruh lapisan masyarakat.

Apakah Industri Memahami Kebutuhan Mereka Sendiri?

Saat beralih ke dunia industri, muncul pertanyaan penting: “Apakah industri memahami dengan baik kebutuhan tenaga kerjanya?”

Sering kali, iklan lowongan kerja yang tersebar tampak tidak realistis. Misalnya, seorang admin media sosial yang diharuskan menulis konten, menganalisis data, mendesain grafis, dan membuat video sekaligus. Seakan-akan perusahaan mencari seorang superhero alih-alih pekerja biasa.

Hal ini mencerminkan ketidakpahaman banyak HRD dalam menyusun deskripsi pekerjaan yang realistis. Ketidaksesuaian antara ekspektasi industri dengan kompetensi pencari kerja justru memperlebar jurang yang ada, menyebabkan kebingungan di kedua belah pihak.

Apabila kita mengikuti isu yang beredar selama ini, ada mitos bahwa lowongan pekerjaan sedikit. Ini jelas salah. Lihat saja berbagai platform seperti Jobstreet, LinkedIn, atau Glints—ribuan lowongan kerja tersedia dengan variasi posisi yang luas.

Jadi, mengapa angka pengangguran tetap tinggi? Masalahnya kembali pada ketidakcocokan antara kompetensi pencari kerja dan kualifikasi yang dibutuhkan oleh industri. Meskipun ribuan lowongan tersedia, jika pencari kerja tidak memiliki keterampilan yang relevan, lowongan tersebut tetap kosong.

Menutup Paradoks: Kolaborasi sebagai Kunci Solusi

Pengangguran di Indonesia bukanlah masalah yang hanya dapat disederhanakan sebagai kekurangan lowongan kerja atau rendahnya kualitas SDM.

Ini adalah akibat dari rantai masalah yang kompleks: ketidaksiapan individu menyesuaikan diri dengan tuntutan dunia kerja, sistem pendidikan yang usang, hingga kebijakan industri yang kurang matang.

Solusi yang dibutuhkan tidaklah instan. Kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan industri sangat diperlukan untuk menciptakan ekosistem yang inklusif dan efisien bagi para pencari kerja. Tanpa itu, pengangguran akan tetap menjadi ironi yang terus kita hadapi di masa depan.

Penulis: Zakiyuddin M.H

Editor: Abdul Khair

Terbaru

Terpopuler

  • donasi-imparo