Imparo.net

Indonesia tidak layak disebut sebagai negara yang ramah

Sebagai warga Indonesia, pasti sering mendengar bahwa Indonesia menyandang gelar sebagai negara yang ramah. Hal ini bukan gelar biasa, di tahun 2022 berdasarkan survey Expart insider versi internasional, Indonesia memasuki urutan ke-7 sebagai negara yang ramah. Tayangan prank oleh TV Jepang juga menunjukan bahwa Indonesia adalah negara yang ramah. Saat kru prank melakukan tindakan jahil untuk membuktikan apakah masyarakat indonesia ramah atau tidak, hasilnya memang menunjukan bahwa masyarakat Indonesia memanglah ramah. Dikarena respon dari masyarakat tersebut hanya tersenyum meringis sampai giginya terlihat kering saat dijahili oleh kru TV dari Jepang.

Namun dari semua itu, ungkapan Indonesia adalah negara ramah hanyalah omong kosong belaka. Nyatanya warga Indonesia tidak seramah yang dibayangkan dan digambarkan oleh beberapa media. Lihat saja bagaimana warga Indonesia berinteraksi di sosial media. Tindakan cyberbullying dan hate speech merajalela di dunia maya. Memang mengherankan, melihat gelar negara yang ramah namun di sangat berkebalikan di sosial media

Cyberbullying dan hate speech di dunia maya

Cyberbullying adalah Tindakan bullying/perundungan yang ada di dunia maya. Hal ini bisa terjadi di media sosial, platform chatting, dan platform bermain game. Menurut Think Before Text, perilaku cyberbullying adalah perilaku agresif pada individua atau kelompok yang menggunakan media elektronik.

Perilaku cyberbullying yang sedang hangat sekarang adalah tweet chef Arnold yang menjelaskan bahwa bagaimana uang Rp15.000 bisa menjadi makanan sehat. Tweet tersebut di dasari dari program Prabowo-Gibran yang menjanjikan makan siang gratis untuk siswa sekolah. 

Akhirnya warganet langsung menggeruduk dan membully chef Arnold. Dengan mengatakan bahwa makan siang Rp15.000 tidak mungkin. Jika ada, paling hanya nasi dan ayam saja, tidak ada sayur, buah.  Pokoknya tidak memenuhi standar makanan 4 sehat 5 sempurna.

Ada juga cyberbullying yang terjadi akibat pengendara yang merokok di jalan lalu tidak terima saat di tegur oleh pengendara lain. Melalui akun Instagram @malangraya_info ada seseorang yang memberikan nama akun Instagram pelaku. 

Alhasil, warganet memenuhi kolom komentar dan DM di akun pelaku sehingga pelaku mengunci akun instagramnya. Selain dari cyberbullying, warga Indonesia juga kerap melakukan penipuan (scam) dan hoax.

Adalah menjadi pertanyaan bagaimana bisa Expart insider memberikan gelar negara yang ramah dan berada di urutan ke-7. Metode survey dan pemilihan samplingnya sepertinya perlu dipertanyakan. Jangan-jangan metode survey dan pemilihan samplingnya tidak valid dan reliabel seperti bagaimana cara Lembaga Survey elektabilitas digunakan saat pemilu.

Efek Disinhibisi Online, Membuat Netizen Maha Benar

Penyebab adanya perbedaan perilaku antara di dunia nyata dengan dunia maya ini sebenarnya memiliki istilahnya tersendiri. Efek disinhibisi namanya, yaitu dimana individu cenderung bertindak lebih bebas dan tanpa filter di dunia maya, individu lebih merasa menjadi anonim dan tidak terikat pada konsekuensi du dunia nyata.

Fenomena ini memperburuk kondisi di media sosial, memunculkan perilaku negatif yang merugikan banyak orang. Karena merasa aman, pelaku cyberbulling, penipu, dan penyebar hoax merasa bebas melakukan apa saja di sosial media.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan hilangnya batasan dalam dunia maya. Pertama, anonimitas memungkinkan seseorang berlindung dari cyberbullying dengan menggunakan akun palsu untuk tindakan tidak senonoh. Kedua, invisibilitas karena tidak menampilkan fisik atau wajah meningkatkan kepercayaan diri, bahkan dengan menggunakan foto dan nama orang lain untuk melakukan cyberbullying. 

Ketiga, asingkronitas dalam komunikasi daring membuat seseorang bisa menghilang setelah menyampaikan pendapat atau bahkan menghapus akun. Keempat, introjeksi solipsistik memperumit interpretasi karena ekspresi non-verbal tidak hadir, sehingga pembaca dapat menginterpretasikan tulisan dengan beragam makna. Terakhir, kesetaraan di dunia maya membuat semua orang memiliki posisi yang sama, tidak peduli dengan status sosial di dunia nyata.

Saatnya berbenah untuk literasi digital

Dari permasalahan tersebut, warga Indonesia masih perlu memperdalam literasi digital dan bagaimana bersikap di sosial media. Pemberian pemahaman tersebut memang tidak bisa secara instan diberikan. Perlu usaha lebih dari berbagai elemen dan lapisan masyarakat untuk memperbaiki literasi digital dan bagaimana cara bersikap dengan baik di sosial media.

Seperti Pendidikan di sekolah misalnya, guru-guru bisa menjadi perantara untuk transfer of character. Sehingga anak-anak yang di ajar dapat belajar bagaimana bersikap. Pemberian gelar negara yang ramah perlu dibuktikan di media sosial juga. Jangan sampai pemberian negara yang ramah akan menjadi lelucon di dunia maya saja.

Penulis: Zakiyuddin M Hafidz

Editor: Ahmad Fauzan A.

Terbaru

Terpopuler

  • donasi-imparo