Identitas Buku
Judul: Il Principe (Sang Pangeran ) : Buku Pedoman Para Diktator
Penulis: Niccolo Machiavelli
Tahun Terbit : 2021
Penerbit: Narasi
Tebal Buku: 184 Halaman
Pemikiran Machiavelli menjadi satu rujukan primer yang harus dipahami untuk semua orang yang memiliki obsesi untuk mendapatkan dan mengkristalkan status quo tersebut, salah satunya dalam konteks untuk mendapatkan kekuasaan dan melanggengkan hegemoni yang sudah terbentuk. Memahami pemikiran Machiavelli tentang hal tersebut, tentu IL Principe (Sang Pangeran) menjadi jawabannya. Buku yang konon katanya menjadi pedoman untuk para diktator seperti yang dikatakan Michael Hart.
Machiavelli menjadi tokoh sentral yang memberikan pemahaman politik yang paling jujur yang pernah ada, dimana hal tersebut dijustifikasi oleh kiat-kiat yang dituliskannya di setiap halaman yang ada di dalam IL Principe. Magnum opus Machiavelli ini memiliki orientasi awal sebagai hadiah yang diberikan oleh Machiavelli kepada keluarga Medici yang baru saja berhasil mengambil alih kota Florence.
Kediktatoran yang mulus
Buku pedoman diktator tentunya bukan julukan belaka, Adolf Hitler, Joseph Stalin, bahkan Napoleon Bonaparte menjadi tokoh yang tergila-gila terhadap karya Machiavelli yang satu ini. Dikatakan bahwa mereka menyimpan salinan, bahkan Napoleon Bonaparte juga tidur bersama IL Principe.
IL Principe secara singkat menjadi bahan bacaan untuk para penguasa atau bahkan orang-orang biasa yang ingin mendapatkan kekuasaan, dimana IL Principe menganjurkan kepada para pembacanya untuk merebut dan mempertahankan kekuasaannya dengan segala cara, termasuk menggunakan tipu muslihat dan kekejaman.
Satu kalimat yang akan mendukung pernyataan diatas adalah seperti apa yang dikatakan oleh Machiavelli “membunuh sahabat, mengkhianati teman, tidak memiliki iman, tidak memiliki rasa kasihan, tidak memiliki agama, itu semua tindakan tidak bermoral, akan tetapi mampu memberikan kekuasaan.
Salah satu cara yang ditawarkan oleh Machiavelli dalam mempertahankan kekuasaan adalah dengan memperingatkan sang pangeran bahwa hal pertama yang harus dilakukan adalah membunuh semua keluarga kerajaan yang memerintah sebelumnya, dan kedua adalah dengan tidak mengubah kebiasaan atau kebudayaan lama rakyat.
Tentu dalam benak kita itu teramat kejam, namun jika memakai perspektif realistik itu menjadi sebuah keharusan, membunuh keluarga kerajaan sebelumnya adalah cara paling ampuh untuk mempertahankan kekuasaan yang baru didapat, karena manusia harus dihancurkan, manusia bisa menuntut balas dendam atas luka ringan mereka, namun tidak dapat melakukan hal tersebut apabila mereka terluka parah.
Kiat lain yang ditawarkan oleh Machiavelli untuk meminimalisir hal-hal yang dapat mengancam kekuasaan pangeran adalah dengan mendeteksi permasalahan-permasalahan apa yang sekiranya akan terjadi di masa depan. Melakukan langkah preventif sangat dianjurkan, karena walaupun suatu masalah mudah untuk disembuhkan, namun apabila menunggu terlalu lama, obat yang tidak diberikan tepat waktu tidak akan bermanfaat.
Dalam hal peraturan yang berada dalam suatu wilayah, Machiavelli mewanti-wanti sang pangeran untuk tidak mengubah peraturan lama yang sudah ada wilayah tersebut. Kenapa demikian, harus diingat bahwa tidak ada hal yang lebih sulit atau lebih berbahaya daripada membuat peraturan baru, karena pembuatnya akan dimusuhi oleh mereka yang merasa diuntungkan oleh peraturan lama yang berlaku.
Kekuasaan hasil tipu daya
Machiavelli kurang lebih memberikan empat sebab mengapa seseorang mendapat kekuasaan. Pertama adalah seseorang mendapatkan kekuasaan karena keberuntungan, yang kedua adalah dia menjadi penguasa karena kemampuan diri sendiri, ketiga adalah dengan melakukan tipu daya, dan yang terakhir adalah karena seseorang tersebut adalah keturunan penguasa sebelumnya.
Menarik untuk dikaji bagaimana proses mendapatkan kekuasaan dengan melakukan tipu daya. Machiavelli memberikan gambaran bagaimana Agathocles dari Sicilia yang awalnya hanya warga sipil biasa, kemudian menjadi seorang raja. Suatu hari, ketika perang berkecamuk di Sicilia, Agathocles memanggil semua senator dan stakeholder-stakeholder disana, kemudian membunuh mereka semuanya, dan dia pun menjadi penguasa tanpa adanya bentrokan sipil yang terjadi.
Machiavelli juga berpesan untuk sang pangeran didalam bukunya, bahwa perlu ada fondasi yang kuat dalam suatu negara. Fondasi ini terdiri dari Undang-Undang dan pasukan yang kuat. Namun dalam hal pasukan, kadang pangeran meminta bantuan dari kerajaan sekutu untuk membantu pada saat terjadinya peperangan, Machiavelli sangat menolak metode ini karena dirasa akan berdampak sebaliknya.
Dalam bagian lain IL Principe, terdapat pertanyaan, apakah sang pangeran lebih baik dicintai atau ditakuti. Menurut Machiavelli bahwa sang pangeran harus dicintai juga harus ditakuti, namun kembali lagi bahwa dua hal ini sangat sulit untuk berjalan berdampingan, maka agar kekuasaan sang pangeran bisa bertahan, lebih baik ditakuti daripada dicintai.
Penguasa dan cinta
Manusia tidak akan segan-segan membela orang yang mereka takuti daripada yang mereka cintai, karena manusia pada dasarnya adalah makhluk yang egois, pada saat mereka telah mendapatkan apa yang mereka inginkan maka mereka akan memutus rantai cinta yang pernah dibuat sebelumnya, akan tetapi rasa takut dipertahankan oleh hukuman-hukuman yang kelak akan mereka terima jika mereka tidak patuh, rasa takut takkan pernah gagal.
Walaupun kita memproyeksikan diri sebagai pangeran yang ditakuti, tapi Machiavelli menitikberatkan bahwa seorang pangeran tidak boleh dibenci dan dianggap hina oleh rakyatnya. Pangeran akan sangat dibenci ketika dia tamak, mengambil barang dan harta benda orang lain. Pangeran akan dianggap hina ketika dia tidak memiliki pendirian, sembrono, lemah, penakut, dan tidak tegas.
Gagasan-gagasan inilah yang menjadi hadiah kecil Machiavelli untuk keluarga medici. Namun uraian-uraian gagasan yang termuat dalam IL Principe menuai banyak polemik dan selalu mendapat label negatif dari berbagai kalangan. Sudut pandang yang pertama mengatakan bahwa kehadiran buku ini hanya akan melahirkan diktator-diktator baru yang akan menindas, namun antitesa dari pandangan ini mengatakan bahwa buku ini memberitahu kita bagaimana cara pikir dan cara kerja seorang pemimpin yang diktator.
Penulis: Muhammad Taufik
Editor: Abdul Khair