Imparo.net

Ibnu Parna: Mengupas Tuntas Konsep Oposisi Rakyat dalam Perjuangan Anti-Kolonial

Identitas Buku

Judul: Pengantar Oposisi Rakyat

Penulis: Ibnu Parna

Tahun Terbit: 2015

ISBN: 9796028635291 

Penerbit: Sega Arsy

Biografi Ibnu Parna

Nama Ibnu Parna mungkin tidak terlalu dikenal oleh banyak orang. Parna tidak sepopuler Muso, tokoh sentral Partai Komunis Indonesia, dan masih kalah terkenal dibandingkan Tan Malaka, pemikir kiri yang sering disebut sebagai Bapak Republik sejati.

Ibnu Parna adalah salah satu tokoh dalam perjuangan anti-kolonial di Indonesia dan pernah menjadi pemimpin pemuda di Semarang. Sebagai pemikir kiri pada masanya, Ibnu Parna terkenal dengan ide-ide revolusionernya dan pernah bergabung dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). 

Namun, kekecewaannya terhadap pemberontakan PKI pada tahun 1925 dan 1948 membuatnya memutuskan keluar dari PKI dan bergabung dengan Persatuan Perjuangan yang dipimpin oleh Tan Malaka.

Ibnu Parna tidak hanya aktif dalam organisasi pro-revolusi, tetapi juga produktif menulis tentang perjuangan kaum buruh dari perspektif komunisme Trotskisme serta perjuangan Indonesia melawan kolonialisme Belanda. Ia pernah menjadi penanggung jawab “Redaksi Majalah Pekerdja,” yang diterbitkan oleh Biro Penerbitan “Jajasan Puspa” Jakarta, sebuah majalah yang dikelola oleh organisasi buruh di Jakarta.

Setelah dikeluarkan dari Persatuan Perjuangan, Parna kembali muncul sebagai pemimpin Angkatan Komunis Muda (Acoma), yang berafiliasi dengan gerakan revolusioner rakyat Tan Malaka. Acoma kemudian berubah menjadi partai politik dan mengikuti pemilu legislatif Indonesia tahun 1955.

Meski hanya mampu meloloskan satu orang di parlemen, Ibnu Parna adalah orang yang terpilih. Partai Acoma dilarang pada tahun 1965 setelah peristiwa G30S PKI, dan Ibnu Parna menjadi salah satu korban yang ditangkap dan dibunuh pasca peristiwa tersebut.

Konsep Oposisi Ibnu Parna

Dalam bukunya “Pengantar Oposisi Rakyat,” salah satu karya terbesarnya, Ibnu Parna tidak menyederhanakan pengertian oposisi sebagai gerakan golongan yang belum berkuasa dalam mencari kesempatan dan kekuatan untuk melaksanakan programnya. 

Menurutnya, orang-orang yang mendefinisikan oposisi seperti itu akan mudah terjerumus dalam kesalahan strategi, sehingga hanya akan menilai gerakan oposisi selesai ketika mereka mendapatkan kesempatan untuk melaksanakan program yang diinginkan.

Ibnu Parna mengklasifikasikan jenis oposisi menjadi empat golongan. Pertama, gerakan oposisi parlemen totok yang percaya bahwa segala usaha perbaikan hanya bisa dilakukan di meja perundingan. 

Parlemen, yang berasal dari bahasa Perancis berarti tempat perundingan, dikenal sebagai Dewan Perwakilan Rakyat atau Volksraad dalam bahasa Belanda. Parlemen merupakan tempat rakyat berunding menentukan nasib mereka sendiri.

Kedua, gerakan anarkis yang meyakini bahwa kapitalis dan kontra revolusi di negara demokrasi kapitalis tidak dapat dikalahkan kecuali dengan gerakan anarkis perseorangan. Mereka percaya bahwa segala ketimpangan dan aturan yang dibuat adalah tanggung jawab satu orang saja. Tokoh besar tersebut dianggap sebagai pengecut yang hanya menjual janji dan tampang, sehingga dapat dipukul atau dibunuh.

Ketiga, gerakan puts yang dilakukan oleh kelompok tertentu yang percaya bahwa perubahan drastis atau revolusi bisa tercapai tanpa melibatkan rakyat. Menurut mereka, cukup dengan tindakan kelompok terhadap golongan berkuasa, maka pemerintahan dapat direbut, gedung-gedung diduduki, orang-orang jahat dihabisi, dan pemerintahan baru didirikan dengan peraturan baru, yang kemudian akan diikuti oleh rakyat.

Berbeda dengan konsep sebelumnya, Ibnu Parna menekankan pentingnya kolaborasi kolektif massa dalam melakukan perubahan. Menurutnya, tidak ada rakyat yang tidak bisa berbuat apa-apa. Rakyat perlu diberikan pemahaman tentang kepentingan dan kebutuhan mereka.

Jika rakyat tidak memahami ini, mereka akan mudah dipengaruhi dan ditunggangi oleh kelompok yang ingin mempertahankan status quo. Hanya rakyat yang bisa menolong dirinya sendiri, dan perubahan dapat dicapai dengan menggunakan gerakan rakyat mayoritas, atau yang disebut Tan Malaka sebagai aksi massa.

Konteks Oposisi di Indonesia Saat Ini

Dalam konteks Indonesia saat ini, konsep oposisi yang dikemukakan oleh Ibnu Parna masih relevan dan menawarkan wawasan penting. Di era demokrasi modern, oposisi memainkan peran krusial dalam mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah. 

Namun, seperti yang diingatkan oleh Parna, oposisi harus lebih dari sekadar mengejar kekuasaan politik. Mereka perlu membangun basis yang kuat di masyarakat dengan pendidikan politik yang baik dan kesadaran kolektif.

Gerakan oposisi di Indonesia saat ini sering kali terjebak dalam pragmatisme politik jangka pendek, tanpa memperhatikan pembangunan jangka panjang dan kesejahteraan rakyat. 

Konsep gerakan kolektif massa yang ditekankan oleh Ibnu Parna mengingatkan kita bahwa perubahan sejati hanya dapat terjadi jika rakyat memahami dan mendukung perjuangan tersebut.

Oposisi parlementer di Indonesia masih cenderung berfokus pada perdebatan di dalam parlemen, sementara gerakan anarkis meskipun ada, jarang mendapatkan dukungan luas karena dianggap tidak efektif dan cenderung merusak. 

Dalam realitas politik modern, aksi massa yang terorganisir dengan baik bisa menjadi alat yang kuat untuk mengadvokasi perubahan. Namun, ini membutuhkan pendidikan dan mobilisasi yang menyeluruh di tingkat akar rumput.

Oposisi yang hanya mengandalkan serangan terhadap individu atau kelompok tertentu tanpa strategi yang jelas dan terencana, seperti yang dikritisi oleh Parna, akan sulit mencapai tujuan jangka panjang. 

Sebaliknya, dengan memperkuat pemahaman rakyat tentang hak dan kepentingan mereka, serta membangun solidaritas kolektif, gerakan oposisi dapat menjadi kekuatan yang efektif dalam menciptakan perubahan sosial dan politik yang berarti di Indonesia.

Penulis: Muhammad Taufik

Editor: Abdul Khair

Terbaru

Terpopuler

  • donasi-imparo