Imparo.net

Hubungan antara teori dan praktik terhadap pembangunan pendidikan

Pembangunan pendidikan sebagai salah satu peran pendidikan sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional adalah untuk secara aktif menumbuhkan lingkungan belajar dan proses pembelajaran itu sendiri, memungkinkan peserta didik mengembangkan potensinya dalam hal spiritualitas, agama, disiplin diri, kepribadian, kecerdasan, nilai-nilai mulia, dan keterampilan yang diperlukan untuk diri mereka sendiri, masyarakat, bangsa, dan negara. Pendidikan berfungsi sebagai alat yang ampuh yang mendorong individu untuk menyelaraskan tindakan mereka dengan norma-norma sosial yang berlaku.

Di ranah budaya Yunani Kuno, Pendidikan dapat disamakan dengan budidaya lahan pertanian yang cermat, memelihara pertumbuhan benih yang menghasilkan buah berlimpah. Menurut Paulo Freire, konsep kesadaran adalah proses yang terus berkembang, dimulai dari keadaan kenaifan dan maju menuju tingkat kesadaran diri tertinggi dan paling mendalam, yang ia sebut sebagai “konsice kesadaran.”

Perguruan Tinggi sebagai Pendorong Kesadaran Kritis

Salah satu lembaga pendidikan yang memiliki potensi untuk melakukan pembangunan pendidikan guna menumbuhkan tingkat kesadaran yang tinggi di antara para pendidik adalah perguruan tinggi. Melalui kehadiran perguruan tinggi, Pendidikan memiliki kemampuan untuk memunculkan individu yang memiliki tingkat kesadaran kritis.

Misalnya, dalam konteks sejarah Indonesia, perguruan tinggi telah memainkan peran penting dalam mengakhiri revolusi nasional melawan kolonialisme dan ketidakadilan yang melanda bangsa. Revolusi nasional yang disebutkan di atas tidak terwujud tanpa alasan melainkan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk pemahaman peserta didik tentang teori dan praktik berdasarkan pengalaman pribadi mereka. Pemahaman mengacu pada kapasitas individu untuk memahami dan memahami sesuatu yang mereka rasakan melalui indera mereka.

Teori, di sisi lain, memerlukan konseptualisasi praktik yang berasal dari kumpulan fakta dan prinsip yang diterima secara logis dan rasional oleh khalayak yang lebih luas. Sementara itu, praktik adalah konsep yang mencakup implementasi praktis dari berbagai fakta untuk menilai validitas suatu teori atau merumuskan yang baru. Teori dan praktik berfungsi sebagai prinsip panduan bagi individu dalam perjalanan belajar mereka, karena mereka menyediakan kerangka kerja terstruktur bagi pendidik untuk mengeksplorasi berbagai mata pelajaran, baik itu di bidang ilmu sosial, humaniora, atau sains dan teknologi.

Kemajuan teori dan penerapan praktisnya, bersama dengan langkah-langkah yang diambil oleh seorang pendidik untuk memperoleh pengetahuan, akan memastikan keunggulan pemahaman mereka. Oleh karena itu, sangat penting bahwa keseimbangan antara teori dan praktik tetap utuh.

Kesetimbangan ini tidak boleh ditimbang secara berbeda, karena menandakan kemampuan teori untuk memandu praktik dan praktik untuk meningkatkan teori. Sangat penting untuk mengakui bahwa teori dan praktik adalah entitas yang tidak dapat dipisahkan.

Jika sebuah teori gagal memandu praktik, itu dapat dianggap sebagai regresif, karena hambatan ini akan merugikan proses pembelajaran pendidik, menyebabkan stagnasi. Akibatnya, kita sering bertemu individu yang enggan menerima perspektif orang lain, karena mereka dibatasi oleh pendekatan pembelajaran yang terbatas. Mereka mengabaikan penerapan teori dalam praktik, sehingga mengabaikan kesempatan untuk menguji kebenaran teori dalam ranah realitas.

Keseimbangan Antara Teori dan Praktik dalam Pendidikan

Ketika seseorang mengabaikan paradigma teori dan praktik selama proses pembelajaran, pengembangan pengetahuan terhambat, yang mengarah pada keusangan. Selain itu, ini dapat mendorong munculnya dogmatisme dan pikiran tertutup di kalangan siswa. Bagaimana teori dapat diterapkan secara efektif dalam praktik? Selain itu, penting untuk mengingat asal-usul teori, yang sering diabaikan. Pertama, kita harus memahami esensi dari sebuah teori.

Ini merupakan pernyataan faktual, berasal dari proses eksperimen metodis yang telah berulang kali diuji dan menghasilkan hasil yang konsisten. Misalnya, fakta bahwa air mendidih pada suhu 100 derajat Celcius di bawah tekanan atmosfer satu atmosfer telah diverifikasi melalui berbagai percobaan. Oleh karena itu, korelasi antara teori dan praktik mulai terungkap.

Jika seseorang ingin membangun teori, elemen awal yang ikut bermain adalah ranah logika. Logika berfungsi sebagai pilar fundamental dalam menentukan pembentukan suatu teori. Tidak diragukan lagi, jika sebuah teori menyimpang dari ranah logika manusia konvensional, keberadaannya akan berumur pendek. Mengikuti jalannya logika, muncul hipotesis. Hipotesis ini berfungsi sebagai deduksi awal. Setelah memasuki ranah hipotesis, aspek empiris menjadi pusat perhatian.

Fase sebelumnya disebut sebagai fase teoritis, di mana proses pembuktian hipotesis memerlukan pengamatan atau praktik. Akibatnya, sebuah fakta terungkap. Fakta ini kemudian akan berubah menjadi teori yang mendukung dan memperkuat teori yang ada atau teori yang sama sekali baru.

Alasan di balik gagasan yang disebutkan di atas adalah bahwa penciptaan teori tidak dapat hanya bergantung pada logika, karena logika kita mungkin tidak selalu mencapai eselon pemahaman tertinggi. Kami membutuhkan bukti faktual yang berasal dari pengamatan atau praktik.

Oleh karena itu, jika ada ajaran yang mengundang teori-teori baru, menjadi penting untuk menilai apakah pengamatan dan praktik yang memadai telah dilakukan. Dengan mengikuti pendekatan ini, kita dapat dengan mudah membedakan teori mana yang benar-benar otentik dan mana yang hanya termasuk dalam domain logika spekulatif.

Editor: Abdul Khair

Terbaru

Terpopuler

  • donasi-imparo