Imparo.net

Hambatan dalam implementasi pendidikan inklusi di Indonesia

Indonesia termasuk dalam salah satu negara berkembang di dunia. Banyak hal yang perlu ditingkatkan untuk bisa menyandang gelar sebagai negara maju. Salah satu yang dominan yakni pendidikan. Jika dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara saja Pendidikan Indonesia masih di bawah negara tetangga yakni Malaysia. Tentu banyak faktor di sektor pendidikan yang menyebabkan Indonesia belum mampu mengejar negara lain salah satu yang cukup umum yakni persebaran pendidikan yang belum sepenuhnya merata. Padahal dalam ayat 1 pasal 31 UUD 1945 disebutkan bahwa “Setiap warga negara berhak memeroleh pendidikan”. Didukung juga oleh anggaran negara yang diprioritaskan di bidang pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan juga APBD.

Belum meratanya pendidikan di Indonesia bisa bermula dari adanya segregasi. Mulai dari pemisahan lembaga pendidikan yang berdasarkan agama, suku, kemampuan fisik/mental, dll. Hal ini menjadikan individu yang tidak termasuk dalam kriteria lembaga pendidikan tersebut minder, kesulitan dalam menjalankan proses pendidikan dan bahkan tak jarang mereka ditolak sebab dikatakan “tidak sama” dengan kriteria peserta didik yang menjadi standar di tempat tersebut. Sebut saja contoh paling umum terjadi adalah penolakan anak berkebutuhan khusus (ABK) yang ingin mengenyam pendidikan di sekolah inklusi.

Pendidikan Inklusi di Indonesia

Indonesia termasuk dalam salah satu negara berkembang di dunia. Banyak hal yang perlu ditingkatkan untuk bisa menyandang gelar sebagai negara maju. Salah satu yang dominan yakni pendidikan. Jika dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara saja Pendidikan Indonesia masih di bawah negara tetangga yakni Malaysia. Tentu banyak faktor di sektor pendidikan yang menyebabkan Indonesia belum mampu mengejar negara lain salah satu yang cukup umum yakni persebaran pendidikan yang belum sepenuhnya merata. Padahal dalam ayat 1 pasal 31 UUD 1945 disebutkan bahwa “Setiap warga negara berhak memeroleh pendidikan”. Didukung juga oleh anggaran negara yang diprioritaskan di bidang pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan juga APBD.

Melansir laman Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI (2022) di Indonesia perkiraan jumlah anak berkeburuhan khusus mencapai 2.297.833 jiwa. Sedangkan jumlah peserta didik yang terdata di sekolah luar biasa (SLB) dan sekolah inklusif baru sekitar 269.398 jiwa. Dapat disimpulkan bahwa ABK yang menerima pendidikan formal baru sekitar 12,26% yang berarti pendidikan bagi ABK masih sangat belum merata.

Menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (permendiknas) No. 70 tahun 2009 pasal 1, pendidikan inklusif dimaknai sebagai pendidikan yang membuka kesempatan pada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan potensi kecerdasan atau bakat istimewa untuk mengikuti pembelajaran di lingkungan pendidikan bersama- sama dengan peserta didik reguler atau anak normal pada umumnya. Jadi sekolah inklusi merupakan sekolah reguler dari berbagai tingkatan yang menerima ABK sebagai peserta didik untuk belajar bersama peserta didik yang normal.

Pada dasarnya seluruh lembaga pendidikan reguler tidak diperkenankan untuk menolak jika ada peserta didik ABK yang mendaftar di sekolah tersebut. Seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nno.70 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa pendidikan inklusif wajib menerima ABK atau peserta didik yang berkebutuhan khusus. Namun, faktanya di lapangan belum sepenuhnya sesuai dengan peraturan tersebut. Masih banyak sekolah reguler dari jenjang sekolah dasar sampai menengah yang seharusnya sudah berubah menjadi sekolah inklusi tidak mau menerima ABK sebagai peserta didik, dan mungkin juga belum bisa menerima mereka karena beberapa faktor yang cukup signifikan.

Hambatan dan Solusi Pendidikan Inklusi di Indonesia

Sejalan dengan yang diungkap penelitian yang dilakukan Zakia tahun 2015, temuannya menyatakan bahwa banyak sekolah inklusi yang masih kekurangan guru pendamping khusus (GPK), sehingga menyebabkan timbulnya dobel job. Jelas masalah kurangnya SDM ini harus segera diatasi oleh pemerintah yang mungkin bisa lebih membagi rata SDM GPK di daerah yang maju untuk didistribusikan ke daerah-daerah yang masih membutuhkan. Sehingga di sekolah inklusi diharapkan guru bisa lebih fokus pada pengawasan dan proses pembelajaran tanpa kesulitan membagi waktu.

Kendala yang dihadapi sekolah inklusi di Indonesia bukan hanya kurangnya SDM tenaga pendidik. Sebuah riset menjelaskan bahwa sebanyak 60% sebenarnya tenaga pendidik juga masih kesulitan dalam mengidentifikasi anak yang berkeburuhan khusus di awal masuk sekolah yang berdampak pada kesulitan guru dalam membuat rancangan pembelajaran yang sesuai dengan pendidikan inklusi.

Hal ini berkaitan dengan sarana dan prasarana yang ada. Kurangnya pelatihan, edukasi, sosialisasi dan sebagainya dari pihak terkait juga turut memengaruhi kompetensi dari guru-guru ini dalam menjalankan perannya di sekolah inklusi.

Selain dari sisi tenaga pendidik, nyatanya dalam implementasi sekolah inklusi ada juga faktor budaya yang memengaruhinya. Sampai saat ini tak jarang pihak sekolah “reguler” yang sudah semestinya menjadi sekolah inklusi tidak mau menerima peserta didik dengan kebutuhan khusus dikarenakan stigma negatif yang melekat pada masyarakat. Sehingga banyak dari sekolah tersebut yang menolak ABK untuk bisa menempuh pendidikan di sana demi menjaga citra baik sekolahnya. Hal seperti ini juga perlu diperhatikan oleh pihak terkait termasuk pemerintah agar lebih masif memberikan sosialisasi pada masyarakat guna menepis stigma negatif yang melekat pada ABK, agar semua anak bisa mendapatkan haknya dalam bidang pendidikan.

Terbaru

Terpopuler

  • donasi-imparo