Imparo.net

Disorientasi pendidikan: Akar komersialisasi pendidikan di Indonesia

Disorientasi pendidikan telah menjadi isu sentral yang melanda Indonesia. Dalam konteks ini, pendidikan, yang menjadi hak segala masyarakat dan dipertanggung jawabakan oleh negara, dipandang telah terdistorsi oleh arus komersial. Pandangan Tan Malaka dan Ki Hajar Dewantara tentang tujuan pendidikan yang mulia semakin terabaikan dalam bingkai yang dipenuhi oleh biaya pendidikan yang mahal dan praktik komersial yang merugikan.

Menurut Tan Malaka tujuan pendidikan adalah untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan. Ki Hajar Dewantara bapak pendidikan Indonesia mengatakan bahwa tujuan pendidikan hanya semata untuk menuntun segala kodrat manusia sehingga mencapai keterampilan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

Peran Negara yang perlu di pertanyakan

Dalam hal untuk mendapatkan pendidikan di Indonesia, negara harusnya hadir sebagai tokoh utama yang harus menjamin bahwa setiap warga negara mendapat pendidikan yang layak, karena hal tersebut sudah jelas tertulis didalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai tujuan dari negara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Namun dewasa ini, antara realita dilapangan dengan yang diamanatkan oleh konstitus terlihat bertolak belakang. Cukup jelas kasus dimana negara tidak mampu menjalani peran utamanya sebagai tempat untuk menghadirkan pendidikan yang mampu berimplikasi pada kecerdasan terhadap seluruh masyarakat Indonesia. Salah satu hal tersebut disebabkan oleh mahalnya biaya pendidikan di Indonesia.

Mahalnya tarif pendidikan di Indonesia itu tercermin dari beberapa aspek, contoh seperti pada Pendidikan Tinggi di Indonesia dengan permasalahan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang terus mengalami kenaikan tiap tahunnya atau SPP yang ada di lembaga pendidikan mulai dari Taman Kanak-kanan sampai Menengah Atas.

Tidak hanya diaspek pembiayaan saja, pendidikan dijadikan sebagai komoditas juga bisa dilihat ketika adanya kegiatan yang sering kita dengar yaitu study tour. Kegiatan yang mengharuskan siswanya membayar lagi uang perjalanan, berkedok pembelajaran yang sebenarnya dari kegiatan tersebut pada pelaksanaannya tidak mencapai tujuan dan hal-hal yang sifatnya terlalu substantif, serta berdampak terhadap pembelajaran siswa. Pada akhirnya study tour yang dilakukan hanya seperti jalan-jalan biasa, tanpa ada tendensi belajar sedikitpun.

Di sisi yang bersamaan, komersialisasi pendidikan bisa dilihat ketika kemudian beberapa dosen yang mengharuskan mahasiswanya untuk membeli buku yang ditulis oleh dosen itu sendiri. Kadang kala ancaman yang diberikan kepada mahasiswa yang tidak mempunyai buku tersebut adalah tidak boleh mengikuti jam perkuliahannya. Seperti yang baru ini beredar berita mahasiswa semester akhir yang harus menjual cincin ibunya hanya untuk membeli buah tangan untuk dosen pada saat pelaksanaan sidang skripsi.

Fonemena diatas tentunya adalah hal yang memilukan untuk dunia pendidikan di Indonesia. Namun, sayangnya di Indonesia sendiri ada pandangan hal-hal seperti ini sudah terlanjur dan menjadi takdir yang dipercayai oleh sebagian besar masyarakat, bahwa pendidikan adalah tangga untuk naik kelas sosial yang lebih baik. Namun sayangnya bahwa pendidikan tidak seakrab itu dengan masyarakat yang berada di kategori ekonomi kebawah.

Mahalnya biaya pembangunan yang harus dibayar ketika pertama masuk kuliah, seperti yang berminat masuk fakultas kedokteran dimana calon mahasiswa harus mengeluarkan ratusan juta rupiah, belum lagi UKT yang tembus dua digit per semester.

Hal inilah yang kemudian membuat timpangnya akses untuk para penerus bangsa melanjutkan pendidikan khususnya dari Sekolah Menengah Atas menuju Pendidikan Tinggi. Hal ini bisa kita lihat data dari Kemedikbudristek pada tahun 2022 lalu, jumlah mahasiswa di Indonesia hanya 9,32 juta, sedangkan data jumlah pemuda di Indonesia yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 64,16 juta orang.

Komersialisasi adalah dampak

Lalu apa kemudian yang menjadi penyebab terjadinya tingginya biaya pendidikan yang akrab disapa dengan istilah “komersialisasi pendidikan” di Indonesia.  Menurut penulis, akar dari komersialisasi ini adalah regulasi yang memberikan otonomi atau kebebasan kepada perguruan tinggi untuk mengelola keuangan dan rumah tangganya sendiri. Secara historis konsep itu digagas mulai dari tahun 1998.

Konsep pengelolaan biaya pendidikan pada awalnya memiliki konsep pemerintah memegang kendali penuh dan sebagai pihak yang mengelola dan memberikan subsidi kepada perguruan tinggi kemudian berubah, ketika konsep Badan Hukum Milik Negara (BHMN) disahkan pada tahun 1999, lewat Peraturan Pemerintah Nomor 60 dan 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai badan Hukum.

Implikasi dari itu semua adalah penyelenggaraan pendidikan tinggi diberikan kebebasan tidak hanya berupa kebebasan akademik dan otonomi keilmuan, akan tetapi otonomi dalam bidang keuangan juga. Konsep tersebut saat ini dikenal sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) yang disahkan melalui UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Inilah yang menjadi akar bagaimana komersialisasi pendidikan di Indonesia. Birokrasi lewat peraturan tersebut secara langsung telah mengurangi beban finansial yang diemban dan menyerahkan pendidikan dalam arena pasar bebas dan paradigma industrialisasi saat ini.

Pada akhirnya tujuan pendidikan untuk mempertajam kecerdasan, memperhalus perasaan dan meningkatkan kebahagiaan seperti apa yang dikatakan Tan Malaka dan Ki Hajar Dewantara, menurut penulis apabila permasalahan seperti ini tidak dibenahi secara bersama, maka tidak akan pernah terwujud.

Akhirnya lembaga pendidikan pada saat ini hanya dianggap sebagai pabrik penghasil tenaga kerja, karena banyak perguruan tinggi yang sudah berafiliasi dengan perusahaan-perusahaan, yang notabene dua lembaga ini memiliki orientasi yang berbeda. Lembaga pendidikan memiliki misi sosial, sedangkan perusahaan dan industri berbicara tentang perolehan laba sebesar-besarnya.

Penulis: Muhammad Taufik

Editor: Abdul Khair

Terbaru

Terpopuler

  • donasi-imparo