Imparo.net

Calo Publikasi

Calo Publikasi, Pekerjaan Baru yang Menjanjikan pada Sektor Penelitian

Masih hangat diperbincangkan, persoalan salah satu dosen di perguruan tinggi swasta yang memiliki jumlah publikasi fantastis dalam satu tahun menjadi sorotan berbagai media. 

Publikasi llmiah, merupakan salah satu poin penting dalam pendidikan tinggi sehingga menjadi salah satu poin pada Tri Dharma Perguruan Tinggi di Indonesia. Namun, apakah semua publikasi ini benar-benar murni hasil karya akademis, ataukah ada unsur lain yang menyelinap di baliknya?

Bukan Joki, Hanya Calo Publikasi

Dalam dunia akademis yang semakin terkomersialisasi, munculah fenomena baru: calo publikasi. Mereka bukanlah joki yang sekadar mencoba mencapai prestasi tanpa usaha, tetapi mereka adalah ‘ahli’ yang menawarkan jasa untuk memperoleh publikasi ilmiah dalam waktu yang singkat.

Layanan ini menjadi semacam ‘pahlawan’ bagi para akademisi yang terjebak dalam tekanan untuk meningkatkan jumlah publikasi mereka demi karier dan reputasi.

Bayangkan saja, seorang dosen dengan waktu terbatas harus memenuhi target publikasi yang semakin meningkat setiap tahunnya.

Dalam kondisi seperti ini, calo publikasi datang sebagai penyelamat dengan menawarkan solusi instan. Mereka menjanjikan publikasi yang rapi dan berkelas tanpa harus melalui proses panjang diseleksi oleh editor dan direvisi oleh reviewer untuk menghindari bias penelitian.

Namun, betapa ironisnya bahwa fenomena ini masih belum mendapat sorotan yang cukup dalam. Seolah-olah calo publikasi adalah bagian yang wajar dari ekosistem akademis, seperti halnya jasa katering atau layanan kebersihan.

Sebagian besar dari kita memilih untuk mengabaikan fakta bahwa praktik ini merusak esensi dari dunia penelitian ilmiah yang seharusnya didasarkan pada kejujuran dan integritas.

Apakah Ini Pekerjaan yang Berintegritas?

Fenomena ini menggambarkan dilema yang dihadapi dunia akademis Indonesia dalam menghadapi tekanan untuk meningkatkan kuantitas publikasi.

Calo publikasi, seperti yang dipaparkan, muncul sebagai respons terhadap tekanan tersebut, memanfaatkan ketidakpahaman dan tekanan yang dirasakan oleh  akademisi, dosen dan mahasiswa doktoral.

Dalam konteks praktik “pencaloan” publikasi, terjadi sebuah transformasi yang mengubah ilmu pengetahuan dari sesuatu yang harus dihormati dan diandalkan menjadi semacam komoditas yang diragukan keasliannya.

Fenomena ini menyebabkan ilmu pengetahuan tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang memiliki keterujiannya yang jelas.

Calo publikasi ibarat serigala berbulu domba, munculnya memang membantu publikasi tapi justru ‘membunuh’ integritas akademisi sebagai seorang intelektual. Ia hanya melacur pada uang tanpa memedulikan kontribusi akademis yang bisa dipertanggungjawabkan bagi perkembangan keilmuan di Indonesia.

Sebagai akibatnya, masyarakat terpaksa mengonsumsi apa yang bisa disebut sebagai ‘limbah’ pengetahuan yang tercemar, yang tidak hanya merusak integritas ilmiah, tetapi juga membahayakan reputasi akademisi Indonesia secara keseluruhan.

Baca Juga: Disorientasi pendidikan: Akar komersialisasi pendidikan di Indonesia

Dibiarkan sajakah? atau dipermasalahkan?

Para akademisi di Indonesia harusnya tidak terbuai dengan adanya standar yang membuat fenomena “calo publikasi” ini muncul, tapi haruslah mengembalikan integritas ilmu pengetahuan dan memastikan bahwa pengetahuan yang diproduksi dan disebarkan adalah yang bermutu dan dapat dipercaya oleh masyarakat secara luas.

Maka dari itu, aturan yang harus diluruskan dalam mengawal penelitian dosen adalah perlu adanya skema yang tegas dalam membina relasi yang egaliter antara pembimbing dan penulis sehingga tidak perlu ada kewajiban untuk mempublikasikan penelitian dalam bentuk jurnal.

Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan menghapus aturan-aturan yang mendasari praktik “scopusisasi” ini. Dengan demikian, kita dapat mengembalikan integritas ilmu pengetahuan dan memastikan bahwa pengetahuan yang diproduksi dan disebarkan adalah yang bermutu dan dapat dipercaya oleh masyarakat secara luas.

Guna mendorong perubahan yang lebih besar, penting untuk memahami bahwa ini bukan hanya masalah moral individu, tetapi sebuah tantangan sistemik yang memerlukan perubahan dalam paradigma secara keseluruhan. Oleh karena itu, permasalahan ini diperlukan advokasi yang kuat untuk memperjuangkan perubahan ini agar iklim penelitian di Indonesia dapat menjadi lebih sehat secara keseluruhan.

Dalam menghadapi hal ini, komunitas epistemik harus bergerak bersama-sama untuk memberantas praktik-praktik yang merusak ini. Salah satu langkah yang dapat diambil adalah dengan inisiatif untuk membangun kultur akademik yang terbuka dan penuh skeptisisme. 

Hal ini dibutuhkan agar nalar kritis para intelektual ini tetap menyala dan berkobar sehingga spirit kejujuran dapat ditularkan diantara sesama kolega.

Di Amerika Serikat, misalnya, kuliah doktoral tidak perlu tuntutan publikasi di jurnal karena fokus keterampilan yang dilatih ketika kuliah adalah menganalisis secara kritis dan mampu menuliskannya dengan metodologi yang ketat.

Selain itu, komunitas epistemik yang muncul secara organik juga harus didukung dengan memberikan ruang yang sebebas-bebasnya untuk berdiskusi dan berdebat, sehingga ide-ide orisinil dapat tercipta dan berkembang.

Dalam mendorong perubahan yang lebih besar, penting untuk memahami bahwa ini bukan hanya masalah moral individu, tetapi sebuah tantangan sistemik yang memerlukan perubahan dalam paradigma secara keseluruhan.

Penulis: Redaksi Imparo

Terbaru

Terpopuler

  • donasi-imparo