Prososial dan altruisme menjadi pilar utama dalam kehidupan bermasyarakat, tak terkecuali dalam Islam. Menelusuri nilai-nilai tersebut dalam Alquran, yang dapat dilihat pada Q.S. Al-Maidah: 2 yang berbunyi “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”, kita menemukan ajakan untuk berbuat baik, saling tolong-menolong, dan mengutamakan kepentingan orang lain. Namun, bagaimana memahami spirit prososial dalam konteks realitas Muslim Indonesia yang kaya dan beragam? Untuk menjawabnya, kita perlu menilik pandangan Max Weber dan membandingkannya dengan gerakan Muhammadiyah yang sarat dengan aksi sosial.
Weber dan pandangannya tentang islam
Max Weber, dalam magnum opusnya “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism”, mengajukan tesis yang menggugah: etika Protestan, khususnya Calvinisme, menjadi faktor pendorong utama lahirnya kapitalisme di Eropa Barat.
Doktrin predestinasi, keyakinan bahwa keselamatan telah ditentukan Tuhan, membuat penganut Calvinis bekerja keras dan berhemat, melihat kesuksesan sebagai tanda “pilihan” Tuhan, dan menyalurkan kekayaan untuk kebaikan, mengabdi pada Tuhan. Weber memandang Islam sebagai antitesis dari semangat ini, terhalang oleh doktrin takdir absolut yang menghambat kerja keras dan rasionalisasi.
Namun, apakah pandangan Weber ini sepenuhnya akurat? Apakah Islam tidak memiliki spirit prososial? Tentu saja tidak. Alquran sendiri sarat dengan perintah dan anjuran untuk berbuat baik, menolong sesama, dan berbagi rezeki. Zakat, infak, sedekah, wakaf, dan amal saleh lainnya menjadi bukti nyata spirit prososial yang tertanam dalam ajaran Islam.
Sepanjang pengetahuan penulis, tesis Weber memiliki kecenderungan untuk mengabaikan keragaman interpretasi dan praktik dalam Islam. Contoh nyata dari interpretasi dan praktik Islam yang beragam adalah seperti yang disampaikan Sukidi tahun 2006 dalam tulisannya mengajukan pandangan bahwa justru organisasi seperti Muhammadiyah adalah sebagai reformasi Islam model protestan, dalam hal ini Calvinis.
Muhammadiyah: Puritanisme islam Indonesia yang prososial?
Muhammadiyah, didirikan pada tahun 1912, mengedepankan gerakan tajdid (pembaharuan), amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran), dan amal usaha (aksi sosial). Gerakan ini mengusung nilai – nilai seperti tauhid, ibadah dan akhlak mulia, yang diterjemahkan dalam berbagai program, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga pemberdayaan masyarakat. Muhammadiyah memelopori hal ini sebagai bentuk perubahan sosial dengan mencerminkan nilai-nilai Islam yang sebenar-benarnya.
Hal yang menarik dari ini adalah terdapat resonansi antara nilai-nilai Muhammadiyah dengan etika Protestan yang dijelaskan oleh Weber. Kerja keras, disiplin, rasionalitas menjadi landasan gerakan Muhammadiyah.
Dalam melakukan perubahan sosial, yakni mencapai masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, Muhammadiyah menekankan pada pentingnya pendidikan agar membangun individu yang sadar, berdaya serta memiliki pengetahuan yang rasional. Tak hanya itu, kegigihan Muhammadiyah mendirikan rumah sakit, panti asuhan juga menjadi bukti nyata komitmen terhadap amal saleh
Meski demikian, jika Weber melihat bahwa kerja keras adalah sarana untuk mencapai keselamatan, maka Muhammadiyah memandang bahwa amal saleh adalah wujud ibadah dan pengabdian kepada Allah yang tujuannya adalah membangun masyarakat yang adil dan makmur, sesuai dengan ajaran Islam. Etos kerja Muhammadiyah didorong oleh kesadaran sosial, keimanan, dan rasa tanggung jawab terhadap sesama. Inilah yang membedakan spirit prososial Muhammadiyah dengan etika Protestan.
Apakah Weber sepenuhnya salah? Hemat saya, tidak sepenuhnya salah. Weber memberikan analisis menarik tentang interaksi antara agama dan ekonomi. Akan tetapi, jika melihat realitas Islam Indonesia, terutama Muhammadiyah, kita dapat melihat bahwa spirit prososial dan altruisme itu begitu mengakar kuat dalam tradisi Islam.
Muhammadiyah dan spirit sosial
Mempelajari Weber dan Muhammadiyah membuka mata kita tentang keragaman interpretasi dan praktik Islam yang ada di Indonesia, yang sesuai dengan konteks sosial dan budaya. Elemen etika Protestan berakar kuat pada Muslim puritan Muhammadiyah. Kita tahu bahwa K.H. Ahmad Dahlan adalah seorang saudagar sekaligus seorang muslim reformis dan puritan.
Ia mendirikan Muhammadiyah untuk mengemban misi pembaharuan Islam seperti pentingnya kembali kepada Alquran dan Sunnah, purifikasi Islam, penalaran rasional, serta kontekstualisasi pada ajaran Islam yang selaras dengan tuntutan dunia modern. Seperti Calvinis, seorang Muhammadiyah adalah menjadi Muslim puritan yang asketis dengan mengabdikan dirinya secara rajin dan jujur pada aktivitas bisnis dan sosial-keagamaan sekaligus.
Sebagai seorang muslim, kita punya peran penting dalam melanjutkan dan memperkuat spirit prososial Islam di Indonesia. Kita bisa menjadi pelopor gerakan sosial, membangun kesadaran akan pentingnya amal dan filantropi, serta mendorong terciptanya sistem sosial yang adil dan inklusif.
Editor: Abdul Khair